Jumat, 22 Mei 2015

KETAHANAN NASIONAL DALAM BIDANG PANGAN


Pendahuluan
Globalisasi telah menempatkan bangsa dan negara Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu sisi proses globalisasi tersebut telah memberikan kesempatan dan tantangan bagi Bangsa dan Negara Indonesia untuk dapat hidup  bergaul dengan masyarakat internasional lebih baik lagi. Dalam hal ini proses tersebut telah merangsang upaya peningkatan daya saing dan kompetisi bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di berbagai aktivitas kehidupan. Di sisi lain,  proses globalisasi tersebut telah memberikan tekanan dan beban yang sangat berat  bagi bangsa dan Negara Indonesia untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan masyarakat internasional baru seperti dalam masalah Ketahanan  Nasional dibidang Pangan, Ekonomi Perbankan dan Industri.

Keseluruhan persoalan tersebut harus dihadapi dan diselesaikan oleh  bangsa Indonesia. Setiap kelalaian dan kegagalan dalam merespon dan menangani  persoalan dapat menimbulkan resiko yang serius bagi eksistensi dan keutuhan  bangsa dan Negara Republik Indonesia. Mengingat dimensi dari persoalan- persoalan tersebut sangat kompleks dan beragam, maka diperlukan cara  penanganan yang sistematis, komprehensif-integral serta terencana. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk merespon perubahan dan mengatasi persoalan- persoalan tersebut adalah dengan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah ketahanan nasional beserta hal-hal yang terkait dengannya secara lebih objektif dan ilmiah.

Perubahan tersebut dalam banyak hal cukup signifikan, dan bahkan dalam hal tertentu cukup drastis, sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang sangat serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maraknya berbagai konflik, baik yang bersifat vertikal, maupun yang bersifat horizontal, akhir-akhir ini merupakan bukti dari adanya persoalan yang muncul akibat perubahan- perubahan tersebut. Muncul dan berkembangnya gerakan separatis diberbagai daerah, tindak-tindakan kekerasan di pelosok tanah air dan berbagai aksi demo yang menentang pemerintah merupakan contoh konkrit dari persoalan-persoalan tersebut dan sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa.

ISI MATERI
Pengertian Pangan Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pengertian  pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,  bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,  pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Jenis-jenis pangan dibedakan atas pangan segar dan pangan olahan. Pengertian pangan segar adalah pangan yang belum mengalami  pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku  pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku  pengolahan pangan. Misalnya beras, gandum, segala macam buah, ikan, air segar, dan sebagainya. Sedangkan, pengertian pangan olahan adalah pangan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.

Pengertian Ketahanan Pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalannya. Dalam pasal 1 ayat 17 UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Krisis Kedelai di Indonesia; Salah Arah Kebijakan Ekonomi dan Pertanian Indonesia
JAKARTA. Krisis kedelai yang saat ini sedang menimpa Indonesia sudah sampai tahap yang mengkhawatirkan. Krisis kedelai saat ini adalah perwujudan salah arahnya kebijakan Ekonomi dan Pertanian, serta pangan di Indonesia. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih memaparkan salah arahnya kebijakan pertanian Indonesia ini dimulai tahun 1995 ketika Indonesia ikut meratifikasi WTO. Kemudian dilanjutkan dengan ditandatanganinya letter of intent dengan IMF di tahun 1998 yang semakin memasifkan liberalisasi pada sektor pertanian dan pangan di Indonesia.
Dalam kasus kedelai, penghapusan bea masuk kedelai impor mempengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10 tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari satu juta ton. Sejak 2002 hingga 2011, produksi kedelai nasional tertinggi hanya sebesar 974.512 ton pada tahun 2010, sementara kebutuhan nasional sudah mencapai tiga juta ton per tahun.
“Berdasarkan data BPS, di tahun 1990, pada saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya sebesar 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari – Juli 2013) kita sudah impor 1,1 juta ton atau senilai US$ 670 juta (Rp 6,7 triliun). Ini akibat pemerintah kita terlanjur mengadopsi model ekonomi neoliberal sehingga dalam orientasi kebijakan pangannya hampir semua komoditas pangan, kecuali beras diserahkan pada mekanisme pasar,” ungkap Henry di Medan, pagi ini (05/09/2013).
Selanjutnya, Henry juga menyampaikan bagi petani menanam kedelai sejak harga impor lebih murah menyebabkan kerugian. Menurutnya pemerintah harus menetapkan harga yang adil yang menguntungkan petani kedelai nasional.
“Sejak Bulog menjadi perum kita tidak lagi memiliki lembaga yang kuat untuk menstabilkan harga pangan. Belum lagi adanya konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir orang. Tidak hadirnya peran negara untuk menjadi stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengendalikan tata niaga pangan. Mengembalikan fungsi negara dengan merevitalisasi bulog dengan membuka perannya menjadi lebih besar, bukan hanya untuk mengurus masalah beras saja, namun juga untuk komoditas pangan lainnya. Karena itu lebih baik membubarkan Bulog yang ada sekarang karena Bulog sekarang ini hasil pasca IMF, dan segera membentuk kelembagaan pangan yang baru yang mengacu pada  UU 18/2012 tentang pangan yang mengamanatkan dibentuknya kelembagaan pangan, dan ditegakkannya kedaulatan pangan di Indonesia” papar Henry.
Henry menegaskan, langkah strategis yang perlu segera dilakukan adalah menggenjot peningkatan produksi lokal. Berproduksi kedelai harus ditingkatkan kembali dengan memastikan insentif bagi petani yang menanam kedelai. Meningkatkan luas lahan produksi dan memberikan pelatihan serta dukungan input bagi para petani kedelai. Hal ini harus ditopang dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan jembatan.yang disertai benih berkualitas, teknologi pertanian dan jaminan harga pantas bagi produsen kecil/petani.
“Jika Menteri Pertanian mengumumkan terdapat 2,1 juta hektar lahan produktif dari tujuh juta lahan terlantar yang ada hari ini mengapa lahan-lahan tersebut tidak didistribusikan kepada para petani kedelai maupun tanaman pangan lainnya untuk sungguh-sungguh kembali mencapai swasembada pangan di Indonesia dan melepaskan ketergantungan dari pangan impor,” tuturnya.
Henry menambahkan, pembaruan agraria adalah hal yang mendasar yang harus diimplementasikan sesuai mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 960 dan kepastian petani mempunyai, mengelola dan menggarap lahan minimal 2 ha sesuai amanat UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Selanjutnya pemerintah Indonesia harus menghentikan segala liberalisasi pertanian. Indonesia harus keluar dari perjanjian WTO. Oleh sebab itu menurutnya, Indonesia harus menghentikan rencana sebagai tuan rumah dari penyelenggaraan ministerial meeting WTO yang akan diselenggarakan pada tanggal 3 – 6 Desember 2013.
“Kita juga harus memikirkan diversifikasi pangan sebagai alternatif, seperti kacang koro pedang yang sangat berpotensi menggantikan kedelai. Kacang koro pedang memiliki kandungan protein yang mendekati kedelai, di samping tingkat produktifitasnya yang tinggi. Tinggal memerlukan dukungan pemerintah dan lembaga penelitian untuk menghasilkan kacang koro pedang terbaik, meningkatkan produktifitasnya dan kualitasnya,” tambah Henry yang juga Koordinator La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).








Pembahasan Konsepsi Implementasi Kewaspadaan Nasional terhadap Ketahanan Pangan dan  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi.
Thomas Malthus mengatakan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah di berbagai negara. Permasalahan ini adalah ciri sebuah negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008).
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di dunia. Pada tahun 1930, penduduk dunia hanya 2 miliar dan 30 tahun kemudian pada tahun 1960 baru mencapai 3 miliar. Pada era tahun 2000an penduduk dunia melonjak hingga mencapai kurang lebih 6 miliar penduduk. Tentu saja pertumbuhan penduduk ini mengkibatkan berbagai permasalahan diantaranya kerawanan pangan. Di Indonesia, permasalahan pangan tidak dapat dihindari, walaupun Indonesia dikenal sebagai negara agararis yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Namun, dalam kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia, hal ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya permasalahan yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Persoalan berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, juga telah menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan.

Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya.
Situasi ketahanan pangan di Indonesia dipadang masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003).
Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad millenium sekarang ini. Dalam penjelasan PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, dimana upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan pada pemasukan pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan dan mewujudkan ketahanan nasional.
Oleh karena ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Penyediaan pangan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Untuk mewujudkan penyediaan pangan tersebut, perlu dilakukan pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.
Sumber penyediaan pangan diwujudkan dari produksi dalam negeri, cadangan pangan dan pemasukan pangan. Pemasukan dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pemerataan ketersediaan pangan memerlukan pendistribusian pangan ke seluruh  wilayah bahkan sampai rumah tangga. Oleh sebab itu perwujudan distribusi pangan memerlukan suatu pengembangan transportasi darat, laut dan udara yang sistemnya melalui pengelolaan pada peningkatan keamanan terhadap pendistribusian pangan. Di sisi lain, penganekaragaman pangan dengan berbasis sumberdaya pangan lokal harus ditingkatkan. Dengan keanekaragaman pangan dan didukung pula dengan teknologi pengolahan pangan yang bertujuan menciptakan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang.


Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kewaspadaan nasional terhadap ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
1.      Penataan Regulasi dan Perundang-undangan Mulai dari Proses Pembuatan, Pelaksanaan dan Pengawasannya.
Regulasi dan perundang-undangan merupakan dasar kebijakan bagi pemerintah dalam upayanya untuk menjalankan program ketahanan pangan nasional. Dengan keberadaan regulasi dan perundang-undangan yang baik maka arah kebijakan menjadi terfokus dan terjadi sinergitas yang tinggi antar sektor-sektor dalam kaitannya dengan ketahanan pangan.
2.      Antisipasi Pertumbuhan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk merupakan faktor utama dan dominan yang mempengaruhi ketahanan pangan. Karena jumlah penduduk akan berkorelasi dengan jumlah kebutuhan pangan yang harus disediakan. Penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 259 juta jiwa, membutuhkan pemenuhan pangan yang besar. Dengan keadaan jumlah penduduk yang masih terus meningkat jumlahnya, ancaman-ancaman terhadap produksi pangan telah memunculkan kerisauan akan terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang akan datang. Akibatnya dalam waktu yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan dan lahan pertanian.
3.      Mewaspadai Pola Konsumsi Penduduk
Konsumsi pangan merupakan gambaran pola penduduk suatu wilayah dalam mengkonsumsi jenis-jenis pangan pada kelompok sumber pangan tertentu. Secara detail dijabarkan menjadi (1) pangan sumber karbohidrat, (2) sumber protein hewani, (3) sumber protein nabati, (4) sumber lemak, serta (5) sumber vitamin dan mineral. Saat ini, telah terjadi pergeseran pola konsumsi pada masyarakat karena peningkatan pendapatan per kapita namun masih timpang, karena belum beragam dan bergizi seimbang.
4.      Pengawasan dan Pengetatan Konversi Lahan Pertanian
Laju konversi lahan pertanian, khususnya sawah, mengalami perubahan yang sangat signifikan. Laju konversi terjadi akibat kebutuhan pemenuhan lahan bagi pemukinan dan industri. Bila tidak segera ditangani, maka sektor pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan akan mengalami gangguan. Gejala ini terlihat di kota-kota pulau Jawa, dimana konsentrasi penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri maju pesat.
5.      Mewaspadai Perubahan Iklim
Di era globalisasi saat ini yang patut menjadi perhatian serius adalah masalah perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming). Pemanasan global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Pemanasan dan perubahan iklim global merupakan masalah nyata, dimana Indonesia ikut menghadapinya. Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat, sejak 1990 suhu rata-rata bumi naik 0,70 ˚C, sebagai akibat gas rumah kaca (GRK), dalam jumlah berlebih di atmosfir. Pemanasan global terjalin erat dengan perilaku, gaya hidup manusia, kebijakan politik, pola pembangunan, pilihan teknologi, kondisi sosial ekonomi serta kesepakatan internasional.[5] Mengingat iklim adalah unsur utama dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan bisa berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Hingga beberapa waktu ke depan, iklim menjadi perhatian dan diwaspadai bukan hanya oleh Indonesia, namun oleh seluruh negara di dunia. Karena kondisi iklim di suatu kawasan dapat berdampak pada kawasan lain.
6.      Perlunya Implementasi Teknologi Pertanian
Pada abad millenium sekarang ini, peranan teknologi sudah merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan. Tidak terkecuali bidang pertanian. Bahkan teknologi pertanian saat ini dan ke depan akan semakin berpengaruh. Arah pengembangan teknologi pertanian adalah untuk meningkatkan efisiensi pertanian yang mencakup spektrum teknologi terkait dengan teknologi pengembangan sarana produksi (benih, pupuk dan insektisida), teknologi pengolahan lahan (traktor), teknologi pengelolaan air (irigasi gravitasi, irigasi pompa, efisiensi dan konservasi air), teknologi budidaya (cara tanam, jarak tanam, pemupukan berimbang, pola tanam, pergiliran varietas), serta teknologi pengendalian hama terpadu (PHT).
7.      Mewaspadai Aksesibilitas dan Distribusi Hasil Pertanian
Distribusi pangan merupakan salah satu subsistem ketahanan pangan yang peranannya sangat strategis, apabila tidak dapat terselenggara secara baik dan lancar, bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat tidak akan terpenuhi. Distribusi pangan ini diharapkan dapat terlaksana secara efektif, efisien dan merata di setiap lokasi berlangsungnya transaksi bahan pangan kebutuhan masyarakat. Gangguan distribusi pangan ini berdampak terhadap kelangkaan bahan pangan dan kenaikan harga pangan serta berpengaruh terhadap rendahnya akses pangan masyarakat karena daya beli bahan pangan menjadi menurun. Masalah pangan adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan dan/atau ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masih adanya penduduk miskin, daerah rawan pangan, produksi pangan dihasilkan tidak merata antar wilayah dan sepanjang waktu, potensi sumberdaya alam yang berbeda di masing-masing daerah akan berpengaruh terhadap distribusi dan pasokan bahan pangan.
8.      Pengawasan Terhadap Penegakan Hukum di Bidang Ketahanan Pangan
Penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengimplementasikan kewaspadaan nasional terhadap ketahanan nasional, oleh sebab itu pengawasan terhadap penegakan hukum selain terhadap faktor-faktor tersebut di atas serta di bidang ketersediaan, distribusi, dan konsumsi sehingga mampu menjamin terwujudnya ketahanan pangan yang hakiki dalam menjamin integritas kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan kepastian hukum dan rasa keadilan dalam rangka perjuangan mencapai tujuan nasional.



Sumber :
http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/171-implementasi-kewaspadaan-nasional-terhadap-ketahanan-pangan-dapat-meningkatkan-ketahanan-nasional
http://www.academia.edu/7083859/KETAHANAN_NASIONAL_DI_BIDANG_PANGAN_EKONOMI_PERBANKAN_DAN_INDUSTRI
http://www.spi.or.id/?p=6429
http://www.scribd.com/doc/57205774/Geostrategi-Indonesia-Dengan-Studi-Kasus-Impor-Kacang-Kedelai-Terhadap-Ketahanan-Pangan-Nasional#scribd

KETAHANAN NASIONAL


Pengertian Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Ketahanan nasional diperlukan dalam rangka menjamin eksistensi bangsa dan negara dari segala gangguan baik yang datangnya dari dalam maupun dari dalam negeri. Untuk itu bangsa Indonesia harus tetap memiliki keuletan dan ketangguhan yang perlu dibina secara konsisten dan berkelanjutan.

Ketahanan nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dibina terus menerus dan sinergis, mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah dan nasional bermodalkan keuletan dan ketangguhan yan mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional. Proses berkelanjutan untuk mewujudkan kondisi tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran geostrategic yang dirancang dengan memerhatikan kondisi bangsa dan konstelasi georafi Indonesia.
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam selurh aspek kehidupan secara utuh dan menyelurh serta terpadu berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan wawasan nusantara. Konsepsi ini merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan.
Tujuan dan Fungsi Ketahanan Nasional

Menurut Srijanti, dkk (2009) menjelaskan tujuan, fungsi, dan sifat dari ketahanan nasional sebagai berikut:

a) Tujuan Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional diperlukan dalam menunjang keberhasilan tugas pokok pemerintahan, seperti tegaknya hukum dan ketertiban, terwujudnya kesejahteran dan kemakmuran, terselenggaranya pertahanan dan keamanan, terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial, serta terdapatnya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasi diri.


b) Fungsi Ketahanan Nasional
    Ketahanan nasional mempunyai fungsi sebagai:
(1). Daya tangkal, dalam kedudukannya sebagai konsepsi penangkalan, ketahanan nasional Indonesia ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap identitas, integritas, eksistensi bangsa, dan negara Indonesia dalam aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
(2). Pengarah bagi pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan sehingga tercapai kesejahteraan rakyat.
(3). Pengarah dalam menyatukan pola pikir, pola tindak, dan cara kerja intersektor, antarsektor, dan multidisipliner. Cara kerja ini selanjutnya diterjemahkan dalam RJP yang dibuat oleh pemerintah yang memuat kebijakan dan strategi pembangunan dalam setiap sektor untuk mencapai tujuan nasional mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Ciri dan asas ketahanan nasional

Ketahanan Nasional yang dikembangkan bangsa Indonesia bertumpu pada budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga berbagai cirri ketahanan nasional yang dikembangkan tidak dapat dilepaskan dari tata kehidupan bangsa Indonesia (Suhady dan Sinaga, 2006).

a) Ciri Ketahanan Nasional
(1). Ketahanan nasional merupakan prasyarat utama bagi bangsa yang sedang membangun menuju bangsa yang maju dan mandiri dengan semangat tidak mengenal menyerah yang akan memberikan dorongan dan rangsangan untuk berbuat dalam mengatasi tantangan, hambatan dan gangguan yang timbul.
(2). Menuju mempertahankan kelangsungan hidup. Bangsa Indonesia yang baru membangun dirinya tidak lepas dari pencapaian tujuan yang dicitacitakan.
(3). Ketahanan nasional diwujudkan sebagai kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan bangsa untuk mengembangkan kekuatan dengan menjadikan ciri mengembangkan ketahanan nasional berdasarkan rasa cinta tanah air, setia kepada perjuangan, ulet dalam usaha yang didasarkan pada ketaqwaan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keuletan dan ketangguhan sesuai dengan perubahan yang dihadapi sebagai akibat dinamika perjuangan, baik dalam pergaulan antar bangsa maupun dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.

b) Asas-asas Dalam Ketahanan Nasional

1)    Asas kesejahteraan dan keamanan; kesejahteraan dan keamanan merupakan kebutuhan manusia yan mendasar serta esensial baik sebagai perseorangan maupun kelompok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Realisasi kondisi kesejahteraan dan keamanan dapat dicapai dengan menitik beratkan kepada kesejahteraan, tanpa mengabaikan keamanan. Sebaliknya, memberikan prioritas pada keamanan tidak boleh mengabaikan kesejahteraan. Baik kesejahteraan maupun keamanan harus selalu berdampingan pada kondisi apa pun. Dalam kehidupan nasional, tingkat kesejahteraan dan keamanan nasiona yang dcapai merupakana tolak ukur ketahanan nasional.
2)    Asas Komprehensif integral : Sistem kehidupan nasional mencakup segenap aspek kehidupan bangsa secara utuh, menyeluruh, terpadu dalam perwujudan persatuan dan perpaduan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga ketahanan nasional mencakup ketahanan segenap aspek kehidupan bangsa atau komprehensif dan integral.
3)    Asas mawas diri ke dalam dan keluar; kehidupan nasional merupakan kehidupan bangsa yang salng berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya. Dalam proses interaksi tersebut dapat timbul beragai dampak yang bersifat positif maupun negative. Untuk itu diperlukan sikap awas diri ke dalam dan keluar. Mawas ke dalam bertujuan menumbuhkan hakikat, sifat dan kondisi kehidupan nasional itu sendiri berdasarkan nilai-nilai kemandirian yang proporsional untuk meningkatkan kualitas derajat kemandirian bangsa yang uket dan tangguh. Hal ini tidak berarti bahwa ketahanan nasiona mengandung sikap isosiasi atau nasionalisme sempit. Mawas Diri ke luar bertujuan untuk dapat berpartisipasi dan ikut berperan mengatasi dampak lingkungan strategis luar negeri serta menerima kenyataan adanya saling interaksi dan ketergantungan dalam dunia internasional.
4)    Asas kekeluargaan; mengandung keadilan, kearifan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong , tenggang rasa, dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam asas ini dakui adanya perbedaan dan perbedaan tersebut harus dkembankan secara serasi dalam hubungan kemitraan serta dijaga tidak berkembang menjadi konflik yang bersifa antagonis yang saling menghancurkan.
Sumber :
http://demokrasiindonesia.blogspot.com/2014/08/ketahanan-nasional-pengertian-fungsi.html
http://www.pusakaindonesia.org/konsepsi-ketahanan-nasional-indonesia/


Kamis, 14 Mei 2015

PERISTIWA PERANG DUNIA KE-II


 PERISTIWA PERANG DUNIA KE-II
Perang Dunia II, atau Perang Dunia Kedua (biasa disingkat menjadi PDII atau PD2), adalah sebuah perang global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan banyak sekali negara di dunia —termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer. Dalam keadaan "perang total", negara-negara besar memaksimalkan seluruh kemampuan ekonomi, industri, dan ilmiahnya untuk keperluan perang, sehingga menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer. Ditandai oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk Holocaust dan pemakaian senjata nuklir dalam peperangan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia II konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.
Kekaisaran Jepang berusaha mendominasi Asia Timur dan sudah memulai perang dengan Republik Tiongkok pada tahun 1937, tetapi perang dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939 dengan invasi ke Polandia oleh Jerman yang diikuti serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Perancis dan Britania. Sejak akhir 1939 hingga awal 1941, dalam serangkaian kampanye dan perjanjian, Jerman membentuk aliansi Poros bersama Italia, menguasai atau menaklukkan sebagian besar benua Eropa. Setelah Pakta Molotov–Ribbentrop, Jerman dan Uni Soviet berpisah dan menganeksasi wilayah negara-negara tetangganya sendiri di Eropa, termasuk Polandia. Britania Raya, dengan imperium dan Persemakmurannya, menjadi satu-satunya kekuatan besar Sekutu yang terus berperang melawan blok Poros, dengan mengadakan pertempuran di Afrika Utara dan Pertempuran Atlantik. Bulan Juni 1941, Poros Eropa melancarkan invasi terhadap Uni Soviet yang menandakan terbukanya teater perang darat terbesar sepanjang sejarah, yang melibatkan sebagian besar pasukan militer Poros sampai akhir perang. Pada bulan Desember 1941, Jepang bergabung dengan blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra Pasifik, dan dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.
Serbuan Poros berhenti tahun 1942, setelah Jepang kalah dalam berbagai pertempuran laut dan tentara Poros Eropa dikalahkan di Afrika Utara dan Stalingrad. Pada tahun 1943, melalui serangkaian kekalahan Jerman di Eropa Timur, invasi Sekutu ke Italia, dan kemenangan Amerika Serikat di Pasifik, Poros kehilangan inisiatif mereka dan mundur secara strategis di semua front. Tahun 1944, Sekutu Barat menyerbu Perancis, sementara Uni Soviet merebut kembali semua teritori yang pernah dicaplok dan menyerbu Jerman beserta sekutunya. Perang di Eropa berakhir dengan pendudukan Berlin oleh tentara Soviet dan Polandia dan penyerahan tanpa syarat Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Sepanjang 1944 dan 1945, Amerika Serikat mengalahkan Angkatan Laut Jepang dan menduduki beberapa pulau di Pasifik Barat, menjatuhkan bom atom di negara itu menjelang invasi ke Kepulauan Jepang. Uni Soviet kemudian mengikuti melalui negosiasi dengan menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria. Kekaisaran Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sehingga mengakhiri perang di Asia dan memperkuat kemenangan total Sekutu atas Poros. Perang Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, Britania Raya, dan Perancis—menjadi anggota permanen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[3] Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang Dunia yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu, pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai. Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk muali menjlaani pemulihan ekonomi. Integrasi politik, khususnya di Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pasca perang.
LATAR BELAKANG
Perang Dunia I membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral, termasuk Austria-Hongaria, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara Sekutu yang menang seperti Perancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania memperoleh wilayah baru, dan negara-negara baru tercipta setelah runtuhnya Austria-Hongaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah. Meski muncul gerakan pasifis setelah perang, kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar biaya perbaikan perang, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata negaranya. Pada saat yang sama, Perang Saudara Rusia berakhir dengan terbentuknya Uni Soviet.
Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan sebuah pemerintahaan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji Britania dan Perancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925, gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dnegan agenda nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia "Kekaisaran Romawi Baru". Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.
Parati Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan melawan panglima perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan Cina pada pertengahan 1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya yang komunis. Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik, yang sudah lama berusaha memengaruhi Cina sebagai tahap pertama dari apa yang disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo. Terlalu lemah melawan Jepang, Cina meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan voluntir Cina melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.
Adolf Hitler, setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933. Ia menghapus demokrasi, menciptakan revisi orde baru radikal dan rasis, dan segera memulai kampanye persenjataan kembali. Sementara itu, Perancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar dengan sah bersatu kembali dengan Jerman dan Hitler menolak Perjanjian Versailles, mempercepat program persenjataan kembalinya dan memperkenalkan wajib militer. Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Perancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Perancis. Sebelum diberlakukan, pakta Perancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna. Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus. Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.
Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[26] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru, berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di cina, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.


Penyebab Perang Dunia II
Penyebab Perang Dunia II yang utama dalam jangka panjang adalah tumbuhnya fasisme Italia pada tahun 1920-an, militerisme Jepang serta serangannya terhadap Tiongkok pada tahun 1930-an, dan secara khusus, perebutan kekuaasaan politik di Jerman pada tahun 1933 oleh Adolf Hitler dengan partainya, Nazi, serta kebijakan politik luar negerinya yang agresif. Penyebab langsung adalah Britania dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman setelah Jerman menyerang Polandia pada bulan September 1939.
Penyebab umum terjadinya Perang Dunia II antara lain:
Ini berarti merupakan tantangan terhadap imperialisme Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.