Pengertian Budaya Organisasi dan Perusahaan, Hubungan
Budaya dan Etika, Kendala Dalam Mewujudkan Kinerja Bisnis Etis
Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu
yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis yang tidak etis
akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari perspektif jangka
panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, tetapi bisnis
yang baik adalah selain bisnis tersebut menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral.
Perilaku yang baik, juga dalam konteks bisnis, merupakan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai moral.
Bisnis juga terikat dengan hukum. Dalam praktek hukum,
banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, baik pada taraf nasional
maupun taraf internasional. Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum
dan norma etika, namun dua macam hal itu tidak sama. Ketinggalan hukum,
dibandingkan dengan etika, tidak terbatas pada masalah-masalah baru, misalnya,
disebabkan perkembangan teknologi.
Tanpa disadari, kasus pelanggaran etika bisnis
merupakan hal yang biasa dan wajar pada masa kini. Secara tidak
sadar, kita sebenarnya menyaksikan banyak pelanggaran etika bisnis dalam
kegiatan berbisnis di Indonesia. Banyak hal yang berhubungan dengan pelanggaran
etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak bertanggung
jawab di Indonesia. Berbagai hal tersebut merupakan bentuk dari persaingan yang
tidak sehat oleh para pebisnis yang ingin menguasai pasar. Selain untuk
menguasai pasar, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi para pebisnis
untuk melakukan pelanggaran etika bisnis, antara lain untuk memperluas pangsa
pasar, serta mendapatkan banyak keuntungan. Ketiga faktor tersebut merupakan
alasan yang umum untuk para pebisnis melakukan pelanggaran etika dengan
berbagai cara.
A.
Karakteristik
budaya organisasi
Budaya organisasi adalah
sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh
para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi
lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi
oleh organisasi.
Robbins (2007), memberikan 7
karakteristik budaya sebagai berikut :
1. Inovasi dan keberanian mengambil
resiko yaitu sejauh mana karyawan diharapkan didorong untuk bersikap inovtif
dan berani mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail yaitu
sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian
pada hal-hal detil.
3. Berorientasi pada hasil yaitu sejauh
mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang teknik atau proses yang
digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Berorientasi kepada manusia yaitu
sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil
tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
5. Berorientasi pada tim yaitu sejauh
mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang individu-individu.
6. Agresivitas yaitu sejauh mana orang
bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
7. Stabilitas yaitu sejauh mana
kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam
perbandingannya dengan pertumbuhan.
Sedangkan Schneider dalam (Pearse
dan Bear, 1998) mengklasifikasikan budaya organisasi ke dalam empat tipe dasar:
1. Control culture. Budaya impersonal nyata yang memberikan
perhatian pada kekonkretan, pembuatan keputusan yang melekat secara analitis,
orientasi masalah dan preskriptif.
2. Collaborative culture. Berdasarkan pada kenyataan
individu terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan secara people-driven,
organic dan informal. Interaksi dan keterlibatan menjadi elemen pokok.
3. Competence culture. Budaya personal yang dilandaskan
pada kompetensi diri, yang memberikan perhatian pada potensi, alternatif,
pilihan-pilihan kreatif dan konsep-konsep teoretis. Orang-orang yang termasuk
dalam tipe budaya ini memiliki standar untuk meraih sukses yang lebih tinggi.
4. Cultivation culture. Budaya yang berlandaskan pada
kemungkinan seorang individu mampu memperoleh inspirasi.
Hubungan
Etika dan Budaya
Salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi kinerja karyawan adalah budaya organisasi. Budaya organisasi
merupakan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi, di mana
nilai-nilai tersebut digunakan untuk mengarahkan perilaku anggota-anggota
organisasi (Soedjono, 2005). Perilaku karyawan tersebut dipengaruhi oleh
lingkungan tempat mereka bekerja yang dibentuk melalui budaya organisasi, di
mana keberadaan budaya dalam suatu organisasi diharapkan akan meningkatkan
kinerja karyawan. Selain berpengaruh terhadap kinerja karyawan, budaya
organisasi juga memiliki keterkaitan yang erat dengan kepuasan kerja. Kepuasan
kerja dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan emosional yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaannya (Handoko,
1998, dalam Widodo, 2006). Apabila persepsi karyawan terhadap budaya dalam
suatu organisasi baik, maka karyawan akan merasa puas terhadap pekerjaannya.
Sebaliknya, apabila persepsi karyawan terhadap budaya dalam suatu organisasi
tidak baik, maka karyawan cenderung tidak puas terhadap pekerjaannya (Robbins
dan Judge, 2008). Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaannya dan
menggangap pekerjaannya sebagai sesuatu yang menyenangkan akan cenderung
memiliki kinerja yang baik.
Hubungan
antara Etika dengan Kebudayaan : Meta-ethical cultural relativism merupakan
cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran
moral yang absolut, kebenaran harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana
kita menjalankan kehidupan soSial kita karena setiap komunitas sosial mempunyai
cara pandang yang berbeda-beda terhadap kebenaran etika.
Etika
erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia
sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu
berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap
kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan
dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral
yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan
kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik
atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral
sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal
dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial
tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid
(membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika
dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu
premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan “All moral principles
derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap
kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan
suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.
A.
Kendala
Mewujudkan Kinerja Bisnis
Mentalitas para pelaku bisnis, terutama top management yang
secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja Bisnis. Perilaku
perusahaan yang etis biasanya banyak bergantung pada kinerja top management,
karena kepatuhan pada aturan itu berjenjang dari mulai atas ke tingkat bawah.
Faktor budaya masyarakat yang cenderung memandang pekerjaan
bisnis sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan keserakahan serta bekerja
mencari untung. Bisnis merupakan pekerjaan yang kotor. Pandangan tersebut
memperlihatkan bahwa masyarakat kita memiliki persepsi yang keliru tentang
profesi bisnis.
Faktor sistem politik dan sistem kekuasaan yang diterapkan
oleh penguasa sehingga menciptakan sistem ekonomi yang jauh dari nilai-nilai
moral. Hal ini dapat terlihat dalam bentuk KKN.
Pencapaian tujuan etika bisnis di
Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan kendala.
Keraf`(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1. Standar moral para pelaku bisnis
pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang
lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk
memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan
campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi
laporan keuangan.
2. Banyak perusahaan yang mengalami
konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul
karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara
peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik
antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh
sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan
kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa
jadi akan gagal karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3. Situasi politik dan ekonomi yang
belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya
sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi
membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak
yang mencari dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi
ekonomi yang buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang
guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis
bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di
pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis
menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada organisasi profesi bisnis
dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar